Embun berkumpul dan bersiap-siap untuk jatuh meninggalkan daun yang tak mampu menahannya
untuk tidak pergi. Udara pagi di lodge terasa lembab dengan kegelapan yang
masih tetap bertahan, tak mau kalah oleh perintah sang waktu untuk berlalu
berkat dukungan sang kabut yang menutupi
matahari. Giynn fogg duduk sendiri di teras belakang kamarnya menghadap kearah
hutan. Kedua tangannya memegang secangkir penuh kopi panas. Uapnya mengepul
menyatu dengan nafasnya menipis lalu menghilang. Matanya menatap kosong kearah
kanopi-kanopi hutan yang tertiup angin dingin pagi itu. Selembar selimut tebal
takcukup menghangatkan hatinya.
Semalam Linus, pria yang telah mengisi hatinya
selama hampir tiga tahun ini mengajaknya berjalan-jalan berdua. Setelah yakin
dengan penampilannya giynn keluar kamar. Jantungnya berdebar memandang pujaan
hatinya menunggunya ditaman didepan kamarnya. Dengan wajah pucat dan gerakan
kaku yang diusahakan untuk terlihat wajar dia menemui Linus dan berjalan berdua
sepanjang aliran sungai diseberang jalan. Tak ada kata yang keluar dari mulut
Linus membuat harapan giynn semakin tinggi dan ujung-ujung jari tangannya
semakin mendingin. “Aku menyukai Grace, bagaimana menurutmu?”.
Giynn menghela nafas panjang,
meletakkan cangkirnya dimeja dan berdiri berjalan menuju hutan – mungkin
berjalan-jalan dapat menenangkan fikiran.
Angin berdesir bergesekan dengan dedaunan
seolah membisikkan seruan-seruan memanggil masuk kedalam teritorinya. Gynn
dengan tenang melangkah memasuki lantai hutan. Dalam. Semakin dalam. Hutan semakin ramai dengan desiran angin
didedaunan. Suara air dikejauhan dan seruan-seruan penghuni hutan menimbulkan
harmoni keheningan ditengah keriuhan yang mistis. Ya, mistis. Seolah tersihir
gynn merindukan keheningan ini. Dia merindukan suasana ini. Hutan ini dan....,
sesuatu??.
Sial Gynn. Jangan konyol ini pertamakalinya kau berkujung kesini
bukan?? Setelah kematian Nenek tentunya. Gynn menghela nafas. Bahkan
sebelum kematian Nenek kau tidak pernah dibiarkan mendekati hutan ini.
Peraturan khusus untukmu.
*****
Matanya membesar menunjukkan
keterkejutannya. Sedetik kemudian udara berputar, menyentuh dan mempermainkan
kanopi-kanopi dedaunan pada pepohonan dihutan itu. Memecah kesunyian, mengikat
aroma makhluk indah itu dan melepasnya
melaluinya.
Rambutnya
hitam segelap malam dan bergelombang tenang jatuh hingga pinggangnya. Angin
menyibak rambut depannya memperlihatkan matanya nyang masih terbelalak dengan
pupil berwarna hijau gelap terbingkai warna putih, seperti daun musim semi yang
jatuh pada bayangan bulan dalam kolam
hutan itu. Tepat disamping sosok wanita yang kemanusiaannya masih dipertanyakan
itu.
Sesaat
ingin rasanya Arkha menariknya, menyentuh kulitnya yang pucat transparan dan
memperhatikan setiap keping darah yang mengaliri tubuhnya dibawah sinar bulan
malam itu. Namun dia tak mampu. Tidak untuk saat ini. Wanita itu berhenti
bergerak, mematung.